Memaknai Pesan Presiden RI Kepada Kepala Daerah Terkait Percepatan Keuangan Inklusif

Menjamin akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal yang tepat waktu, lancar, aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing tidak hanya tugas regulator bersama lembaga keuangan formal, namun juga pemerintah daerah. Itulah inti dari pesan Presiden Joko Widodo seusai Rakornas TPAKD dan Silaturahmi Nasional Bank Wakaf Mikro 2019 di Jakarta, Selasa (10/12).

Terlebih, salah satu prinsip keuangan inklusif Indonesia, ditetapkan melalui Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) adalah kerja sama atau cooperation. Prinsip ini dimaknai dengan memperkuat koordinasi dan mendorong kemitraan antara seluruh pemangku kepentingan pada sektor publik, swasta dan masyarakat. Jika prinsip ini dijalankan secara serius bersama prinsip-prinsip lainnya, keuangan Indonesia akan jauh lebih inklusif.

Sejauh ini di Indonesia, sebanyak 55,7% penduduk dewasa telah memiliki rekening dan 70,3% penduduk dewasa tercatat menggunakan layanan keuangan formal, berdasarkan hasil survei nasional Inklusi Keuangan Indonesia 2018 yang dilakukan Satgas Survei Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) bersama Kantar dengan dukungan Yayasan Bill & Melinda Gates. Kantar telah melakukan survei serupa ditahun 2014, 2015 serta 2016 dan bila dibandingkan dengan hasil tahun-tahun sebelumnya, angka tahun 2018 menunjukkan suatu lompatan tren yang luar biasa tinggi.

Di tahun 2016, diperkirakan hanya 35,1% penduduk dewasa yang memiliki rekening, sehingga dalam periode tahun 2016 sampai 2018 terjadi peningkatan sebesar 20 atau 10 poin persentase tiap tahun. Ini artinya, ada tambahan 38 juta pengguna baru layanan keuangan formal di kalangan penduduk dewasa. Ini adalah suatu jumlah yang besar, lebih banyak dari jumah penduduk negara seperti Malaysia atau Australia.

 

Perkembangan Keuangan Inklusif dan Potensinya

Sejumlah kebijakan terbukti efektif mendorong keuangan inklusif di tanah air, dan berpotensi memberikan dorongan yang lebih besar dengan menguatnya sinergi regulator, lembaga keuangan dan pemerintah daerah.

Yang pertama, elektronifikasi program bantuan sosial Pemerintah. Sejak tahun 2017, Pemerintah mulai menggunakan rekening bank dalam menyalurkan Program Keluarga Harapan (PKH). Ada juga program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) yang mengunakan dompet elektronik dalam penyalurannya.

Di akhir tahun 2018, kedua program tersebut memiliki lebih dari 20 juta keluarga penerima manfaat. Dalam konteks program bantuan sosial yang lebih luas, hasil survei Inklusi Keuangan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa 17,2% atau 33,3 juta penduduk dewasa mengaku pernah menerima berbagai program bantuan sosial dan 22,3 juta di antara mereka telah memiliki rekening.

Yang kedua adalah peranan agen bank melalui program Laku Pandai dan Layanan Keuangan Digital. Agen Laku Pandai membantu pembukaan rekening tabungan jenis Basic Saving Account (BSA), yaitu rekening yang tidak mengenakan biaya administrasi dan tidak memiliki saldo minimum setoran sehingga tidak memberatkan masyarakat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan di akhir 2018, lebih dari 22,8 juta rekening BSA telah dibukakan. Ini berarti terjadi penambahan lebih dari 19,1 juta rekening BSA dari tahun 2016.

Ketiga, program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program penjamin kredit dengan subsidi bunga ini telah menyalurkan kredit secara akumulatif sebesar lebih dari Rp450 triliun, sangat mungkin menjadi program penjaminan kredit terbesar di dunia saat ini dari sisi akumulasi nilai penyaluran kredit. Sejak tahun 2015, KUR telah diberikan kepada 18 juta nasabah.

Berdasarkan hasil survei Inklusi Keuangan Indonesia 2018, terdapat lebih dari 13,2 juta penduduk dewasa yang menyatakan telah meminjam KUR. Nasabah KUR dipastikan memiliki rekening di bank penyalur KUR sehingga berkontribusi terdapat pencapaian keuangan inklusif.

Terakhir, kebijakan sistem pembayaran nontunai yang diusung Bank Indonesia sejak 2014 dan mengalami momentum pertumbuhan pesat dalam dua tahun terakhir. Diperkirakan bahwa jumlah pengguna uang elektronik berbasis ponsel cerdas mencapai lebih dari 4,7% atau sekitar 9 juta penduduk dewasa. Ini berarti terdapat kenaikan 7,3 juta penduduk dewasa dari angka di tahun 2016.

 

Tantangan

Terlepas dari capaian-capaian tersebut, ada dua hal yang masih menjadi tantangan.

Pertama, peningkatan penggunaan rekening. Diperlukan sinergi lintas sektor yang lebih solid dan lebih banyak untuk mendorong penggunaan rekening secara aktif di berbagai kelompok masyarakat.

Berdasarkan hasil survei Inklusi Keuangan Indonesia 2018, kepemilikan akun di lembaga keuangan formal ditemukan terendah di sektor pertanian. Selain itu, meski terdapat 57,5% orang dewasa yang telah menggunkan layanan keuangan perbankan, namun sayangnya hanya 38,4% yang memiliki rekening. Atau dengan kata lain, masih terdapat potensi tambahan 19,1% atau setara 37 juta orang dewasa yang seharusnya dapat memiliki rekening.

Yang kedua adalah tingkat literasi keuangan yang masih perlu ditingkatkan secara signifikan.  Masih berdasarkan hasil survei Inklusi Keuangan Indonesia 2018, sekitar 45% penduduk dewasa mengaku belum memahami manfaat layanan keuangan dan cara mengaksesnya. Berbagai alasan ini termasuk, di antaranya, tidak pernah mendengar produk tabungan; tidak merasa memiliki cukup informasi; tidak percaya pada produk keuangan; dan lebih menyukai uang tunai.

Selain itu, menarik diketahui bahwa tingkat literasi keuangan digital ternyata juga masih rendah. Walaupun tingkat kepemilikan ponsel pintar sudah cukup tinggi yaitu sekitar 70,2% dari orang dewasa dan 46% berupa ponsel cerdas, masih sebanyak 75,5% dari mereka mengatakan tidak tahu atau tidak mampu menggunakan ponsel untuk melakukan transaksi keuangan.

Perjalanan keuangan inklusif di Indonesia belum selesai. Karenanya, peranan dan kontribusi seluruh pemangku kepentingan keuangan inklusif sangat diharapkan agar masyarakat secara nyata dapat meningkatkan taraf hidupnya. Untuk itu, perlulah kita mengingat apa yang pernah disampaikan Presiden Jokowi pada saat peluncuran SNKI di tahun 2016 bahwa “Meningkatkan keuangan inklusif di Indonesia adalah langkah penting dalam perjuangan kita melawan kemiskinan, melawan kesenjangan sosial. Tanpa ini sulit kita akan melakukan itu.”

 

Penulis: Iskandar Simorangkir, Ketua Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif

Tulisan telah dipublikasikan melalui kolom Opini dari Harian Bisnis Indonesia pada 23 Desember 2019.

Comments are closed.