Karena wabah COVID-19 ketidaksetaraan serta perbedaan yang kontras akan bagaimana setiap orang di dunia mengalami dampak dari pandemi ini terlihat jelas. Sebagai contoh, sejumlah data terbatas milik pemerintah Amerika Serikat mengindikasikan bahwa warga kulit berwarna punya peran yang begitu besar dalam menyebarkan virus Corona. Faktanya tidak semua dampak negatif setara, dan terhadap sebagian orang, dampaknya bisa jadi bencana bagi mereka.
Tanpa merendahkan kelompok-kelompok lainnya, fakta menunjukkan bahwa perempuan sangat terdampak oleh peristiwa global seperti wabah COVID-19. Berbagai pakar dan masyarakat luas pun memahami bahwa wabah ini bisa memberikan dampak yang sangat buruk terhadap negara miskin maupun yang menengah, dan pada akhirnya akan kesenjangan di negara-negara tersebut semakin meningkat khususnya di kalangan perempuan. Meski sebuah studi menunjukkan bahwa laki-laki berkulit putih lebih berpotensi mengidap dan meninggal karena virus Corona, tetap kaum perempuanlah yang merasakan dampak ekonomi dan sosial berkepanjangan karena pandemi ini. Saat ini, lebih dari sejuta pekerja tekstil di Bangladesh telah dirumahkan tanpa bayaran karena pembatalan pesanan dari perusahaan-perusahaan retail barat. Marie Stopes International memperkirakan bahwa sekitar 9,5 juta perempuan di seluruh dunia dapat kehilangan kesempatan akan layanan dasar dari perencanaan keluarga dan kesehatan reproduksi akibat wabah ini. Di berbagai negara, kekerasan rumah tangga terhadap perempuan selama lockdown melonjak tajam. Belum lagi kerugian ekonomi dari jutaan usaha kecil dan menengah yang terpaksa tutup, yang mana sebagian besarnya dimiliki perempuan.
Memastikan hak dan kebutuhan perempuan terpenuhi di tengah pandemi ini menjadi semakin penting. Ketidaksetaraan gender yang mencolok membuat perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan yang berbeda untuk mempersiapkan, mengatasi dan melakukan pemulihan dari peristiwa yang memprihatinkan seperti saat ini. Respon jangka pendek dan jangka panjang harus bisa memperhitungkan dan mengatasi perbedaan gender dalam kerentanan dan ketahanan ekonomi, atau perempuan beresiko terlantar tidak hanya saat krisis terjadi, tetapi juga selama masa pemulihan. Akhirnya ketidaksetaraan gender akan terjadi secara berkepanjangan.
Women’s World Banking telah mendata sejauh mana kesenjangan gender mempengaruhi dampak ekonomi dari COVID-19 yang dirasakan lembaga keuangan dalam pelayanan mereka terhadap wanita berpenghasilan rendah. Masyarakat inklusi keuangan memiliki peranan penting dalam memperkuat ketahanan dan kemampuan perempuan dalam menghadapi krisis ini. Berikut adalah lima rekomendasi untuk mempersiapkan dan mengurangi dampak ekonomi Covid-19 berdasarkan pengalaman lebih dari 40 tahun di sektor keuangan:
#1 Memastikan perempuan dan laki-laki punya akses yang sama terhadap teknologi: Sebelum kesenjangan gender dalam akses keuangan terurai, kesenjangan teknologi perlu diminimalisir. Akses informasi terhadap wabah ini tidak boleh tertinggal dari cepatnya penyebaran COVID-19. Menurut data GSMA tahun 2018, rata-rata hanya 10% perempuan yang memiliki ponsel dan sebesar 26 persennya kemungkinan tidak memiliki akses ke internet pada ponselnya. Sementara menurut data Bank Dunia, kemungkinan kaum perempuan untuk terliterasi hanya sebesar 9 poin persentase. Dari kepemilikan ponsel cerdas yang rendah, kebeterbatasan dalam mobilitas, akses yang terbatas kepada pendidikan, juga tingkat literasi yang lebih rendah dibanding laki-laki, dapat disimpulkan bahwa informasi seputar keehatan akan sulit menjangkau perempuan, dibanding laki-laki. Karena kesenjangan informasi ini, ruang gerak perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi terbatas dan untuk menjaga diri agar tidak terinfeksi.
Rekomendasi: Dekati kelompok perempuan agar mereka bisa memahami dan mempersiapkan diri untuk menghadapi wabah COVID-19 dan social distancing. Banyak penyedia layanan keuangan punya hubungan yang dekat dengan nasabahnya, staf terdepan, petugas pinjaman, pemimpin kelompok, atau rekan-rekan kelompok tabungan yang bisa dijadikan sumber informasi dan motivasi terpercaya.
#2 Meningkatkan akses perempuan terhadap layanan keuangan digital: Berkurangnya kesenjangan teknologi semestinya dapat memperluas akses perempuan terhadap layanan keuangan digital, sehingga mereka bisa bisa mengakses dana mereka, menyetor uang dan melakukan pembayaran dari mana saja. Namun, saat ini kurang dari 184 juta perempuan yang telah memiliki ponsel dan kurang dari 327 juta perempuan yang bisa mengakses internet, menurut data GSMA. Banyak perempuan belum memiliki ponsel pribadi, sehingga harus meminjam ponsel kerabatnya saat butuh. Karenanya, perempuan belum meraup manfaat dari layanan keuangan digital yang aman dan dapat digunakan dimana saja.
Rekomendasi: Penyedia jasa keuangan harus menyadari masih banyak perempuan yang harus meminjam ponsel orang lain, sehingga fitur multiple users atau switching accounts perlu dipertimbangkan. Selain itu, terhadap perempuan yang sudah memiliki ponsel cerdas, mulailah mengiklankan layanannya di media sosial dan berikan promo rujukan teman supaya mereka tertarik untuk beralih ke layanan keuangan digital. Mengajak lebih banyak perempuan untuk berdagang dan melakukan pembayaran secara daring juga mungkin dilakukan jika mobilitas mereka terbatas, dan krusial untuk meminimalisir kesenjangan teknologi berbasis gender. Penyedia layanan keuangan maupun pemerintah bisa juga memfasilitasi layanan pendaftaran akun dengan fitur e-KYC atau meningkatkan jumlah agen bank perempuan, yang terbukti dapat memfasilitasi akses keuangan di daerah terpencil.
#3 Mengurangi dampak dari beban para perawat perempuan yang tidak dibayar: Perempuan merawat anak kecil, orang tua dan orang sakit dan tidak dibayar. Baik sebelum maupun saat pandemi, perempuan dua sampai 10 kali lebih mungkin bekerja tak dibayar ketimbang laki-laki. Ini memberatkan beban ekonomi perempuan. Ketika suami atau anggota keluarganya sakit, perempuan sering mengorbankan penghasilan mereka untuk merawat, dan akhirnya mereka jugalah yang rentan terpapar virus Corona. Menutup biaya pengobatan dari sakit yang tak terduga adalah salah satu dari sejumlah alasan yang kerap setemui saat perempuan mendekapitalisasi atau melikuidasi usahanya, sebelum mereka menghabiskan tabungannya dan pada akhirnya terjerat oleh kemiskinan. Lebih jauh, antisipasi biaya-biaya tersebut menghalangi perempuan merawat diri mereka sendiri jika mereka sakit.
Rekomendasi: Sektor keuangan bisa melengkapi perlindungan saat perempuan, anak atau anggota keluarga sakit dan membangun sistem kesehatan yang mumpuni dengan menawarkan asuransi mikro yang dibuat khusus untuk perempuan. Sejak 2010, Women’s World Banking telah memperluas akses asuransi mikro terhadap lebih dari 1 juta wanita di Yordania, Mesir, Maroko, dan Uganda untuk menambah pendapatan yang hilang dari keadaan yang tidak diinginkan.
#4 Mendorong kebermanfaatan penuh dari rekening G2P untuk kesehatan keuangan: Ketidakpastian ekonomi telah menjadi situasi yang biasa saat ini, bantuan-bantuan sosial (bansos) digelontorkan untuk membantu meringankan beban ekonomi dan memungkinkan masyarakat menetap di rumah. Sekitar 100 juta orang di dunia telah menerima bantuan pemerintah, yang sebagian besar penerimanya adalah perempuan. Karena bansos, semakin banyak perempuan yang punya rekening di bank. Sayangnya, bukanlah sesuatu yang baru bahwa mayoritas penerima bantuan ini tidak tahu cara menggunakan akun mereka selain tarik tunai.
Rekomendasi: Meski program bantuan sudah banyak yang menargetkan perempuan, perempuan harus tahu cara memaksimalkan penggunaan rekening mereka melalui program digitalisasi bansos. Harapannya, perempuan bisa memenuhi kebutuhan perempuan seperti mengirim uang ke sanak saudara, melakukan pembayaran digital dan menerima pembayaran barang dan jasa yang dijual secara daring.
#5 Melakukan pengumpulan data yang terpilah berdasarkan jenis kelamin, serta rutin perbarui data untuk memberikan informasi tekrini tentang kebijakan dan produk: Upaya ini penting untuk membantu mempersiapkan krisis yang kemungkinan terjadi di masa depan. Bisa dimulai dengan mengumpulkan, menganalisa, dan menyajikan data yang dipilah berdasarkan gender dan karakteristik sosial ekonomi lainnya. Pengumpulan data secara jarak jauh cukup menjanjikan di tengah pembatasan jarak seperti saat ini.
Rekomendasi: Investasi yang berkelanjutan dbutuhkan dalam kelengkapan data individu untuk menunjang pembuatan kebijakan inklusi keuangan karena; Pertama, pemerintah dan swasta bisa menggunakan data ini untuk menganalisis dan mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan agar bisa membuat layanan yang sesuai dengan isu yang ada. Kedua, pengumpulan data tersebut juga harus meliputi kepemilikan akun, ponsel, dan usaha agar bisa mengetahui tingkat privasi dan kontrol perempuan terhadap ponsel. Ketiga, dengan semakin banyaknya perempuan yang memiliki akun di lembaga keuangan karena program bansos, jenis akun perlu didata agar kegunaan dan kualitas akun tersebut dapat dinilai. Akhirnya, kapanpun memungkinkan, mengukur relevansi program pemberdayaan ekonomi perempuan dengan inklusi keuangan dengan metode pengukuran yang tervalidasi.
Kemampuan untuk bertahan adalah kunci untuk bisa pulih dengan cepat dari goncangan. Bagi perempuan yang mengalami represif, berpenghasilan rendah, kekerasan dalam rumah tangga, dan pekerjaan yang tidak menentu akan butuh waktu dan usaha yang lebih utnuk bisa pulih. Seringkali ketahanan perempuan bisa dilihat dari kebebasan finansialnya. Jika perempuan punya kendali atas keuangannya, akses terhadap tabungan, asuransi, jaminan dan bisa mengambil keputusannya sendiri dan keluarganya, ketahanan bisa lebih cepat diraih.
Mengapa butuh insiden yang besar seperti wabah COVID-19 ini untuk menyoroti kesenjangan? Saat dunia berusaha untuk mengendalikan dan meminimalisir wabah ini, kita harus menerima fakta bahwa kemampuan kita untuk menghadapi dan mengontrol diri di tengah pandemi ini akan jauh lebih besar jika dunia lebih adil. Memperluas akses perempuan ke layanan keuangan akan menjadi langkah utama dalam mengatasi krisis dan membangun dunia yang lebih setara.
Penulis: Mary Ellen Iskenderian, Presiden & CEO Women’s World Banking
Penerjemah: Rizki Nadia Putri
Tulisan telah tayang di situs resmi Women’s World Banking dengan judul ‘Building Resilience: How to Ensure Women Are Not Left Behind as a Result of Covid-19’pada 20 April 2020
Comments are closed.
