Laporan Analisis: Upaya Peningkatan Akses Perempuan Terhadap Layanan Keuangan Formal

Tim Penulis:

  1. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
  2. UNDP

Inklusi keuangan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam keuangan yang inklusif, semua pemangku kepentingan harus mengedepankan peran setiap anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan) secara setara. Peningkatan akses keuangan bagi perempuan mampu mendorong kesetaraan untuk mengurangi gap antara perempuan dan laki-laki sehingga dapat menjamin dan mendukung pembangunan berkelanjutan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Kesetaraan gender merupakan isu multidimensi yang tercantum dalam tiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Sustainable Development Goals/SDGs (Bappenas, 2022). Namun demikian, perilaku stereotip gender dalam berbagai bidang di kehidupan bermasyarakat masih menimbulkan perbedaan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Nomor 5 dari SDGs menggarisbawahi bahwa untuk mencapai kesetaraan gender diperlukan pemberdayaan terhadap perempuan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Secara khusus dalam butir “5.a”, ditekankan akan upaya memberikan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki terhadap sumber daya ekonomi, khususnya layanan jasa keuangan. Selanjutnya, Tujuan Nomor 8 dari SDGs menekankan pentingnya dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan serta penguatan kapasitas institusi keuangan domestik. Sasarannya adalah agar dapat mendorong dan memperluas akses layanan pendanaan untuk seluruh masyarakat, termasuk juga untuk pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Kemudian, Tujuan Nomor 16 dari SDGs juga mendorong adanya upaya akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua level.

Sebagaimana uraian dalam RPJMN 2020-2024 tentang pengarusutamaan gender yang menjadi bagian dari pembangunan yang inovatif dan adaptif, peningkatan akses perempuan– dalam konteks ini pelaku usaha (usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)) perempuan–merupakan salah satu strategi untuk mengintegrasikan perspektif perempuan ke dalam pembangunan yang lebih adil dan merata. Dalam kaitan tersebut, akses perempuan dapat mendorong upaya pengurangan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses dan mengontrol sumber daya, termasuk juga terhadap produk dan layanan lembaga keuangan formal sekaligus mendorong pemberdayaan ekonomi dari pelaku usaha perempuan dan nasional secara umum. Selain itu, akses perempuan dalam konteks UMKM perempuan terhadap layanan jasa keuangan dari lembaga keuangan formal, lebih rapuh dibandingkan dengan UMKM pada umumnya. Hal ini terlihat selama masa pandemi di mana UMKM perempuan mengalami hal-hal sebagai berikut (United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women), 2021): (i) sebanyak 87 persen perempuan pemilik UMKM mengalami kerugian; (ii) sebanyak 90 persen UMKM perempuan membutuhkan dukungan pendanaan; (iii) sebanyak 25 persen UMKM milik perempuan kehilangan setengah dari pendapatannya. Sementara, secara global terdapat 23 persen UMKM dimiliki (dipimpin) oleh perempuan dan menggambarkan sekitar 32,4 persen celah pembiayaan global. Begitupun dengan kondisi di Indonesia (tinjauan pada Bab 2).

Di Indonesia, tingkat literasi keuangan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki (A.A. Sawitri, 2017). Saat ini, inklusi keuangan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari semula 76,19 persen (2019) menjadi 85,1 persen (OJK, 2022). Sejalan dengan itu, perempuan juga telah mengalami peningkatan literasi dari 75,15 persen (2019) menjadi sekitar 83,88 persen pada 2022. Maka dari itu, upaya peningkatan inklusi keuangan secara umum untuk mencapai target sebesar 90 persen pada tahun 2024 menjadi sebuah prioritas. Upaya tersebut bertujuan agar inklusi keuangan perempuan juga meningkat dengan cara menginklusifkan kaum perempuan secara lebih proporsional (OJK, 2022).

Untuk mengurangi ketimpangan tersebut, studi ini juga mempertimbangkan konsep pengarusutamaan gender dengan mendorong adanya produk atau layanan keuangan yang responsif gender dari lembaga keuangan formal bagi pengusaha perempuan, karena produk yang netral gender saja tidak cukup. Dalam merancang produk atau layanan keuangan yang responsif gender tersebut, pemangku kepentingan perlu mendorong inovasi dan produktivitas (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA, 2021). Dengan inklusi keuangan perempuan, maka kesejahteraan perempuan dan peningkatan layanan keuangan menjadi lebih baik, termasuk untuk kesejahteraan rumah tangga dan pengembangan bisnis secara umum.

Unduh: Laporan Analisis: Upaya Peningkatan Akses Perempuan Terhadap Layanan Keuangan Formal

Comments are closed.