Transformasi Digital yang Inklusif Turut Percepat Pembangunan Berkelanjutan

Transformasi Digital diperlukan sebagai akselerator pemulihan ekonomi nasional dan penguat fondasi perekonomian untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Setidaknya, ada 3 (tiga) outcome yang diharapkan, yaitu peningkatan efisiensi dan produktivitas, penciptaan inovasi, dan inklusivitas.

Dalam acara Ngobrol Pinter Tentang Ekonomi (Ngopi Teko) bertajuk “The Next Normal: Desain Transformasi Digital yang Inklusif” yang dilakukan secara daring, Selasa (16/6), Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mira Tayyiba menegaskan, Transformasi Digital yang inklusif menjadi penting dan tidak bisa diartikan secara sempit.

“Inklusivitas ini jangan diartikan bahwa semua orang harus dapat mengakses internet, tapi lebih dari itu. Sebagai contoh, layanan keuangan kalau hanya mengandalkan perbankan, maka yang unbankable itu masih akan banyak. Tetapi dengan bantuan fintech, gap itu semakin lama bisa ditutup,” ujar Mira.

Ia pun menerangkan konsep atau kerangka Transformasi Digital yang sedang dirancang. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, pola pikir. “Kalau pola pikirnya masih sendiri dan tidak mau kolaborasi, ya tidak akan bisa bertahan di dunia digital,” kata Mira.

Kedua, visi dan digital leadership. Ketiga, enabling policies. “Karena kebijakan itu yang pada akhirnya akan menentukan apakah kita bisa merealisasi atau tidak. Kebijakannya tidak boleh kaku atau menggunakan paradigma lama sehingga bisa ada ruang inovasi,” sambungnya.

Layer prasyarat berikutnya adalah infrastruktur, termasuk aplikasi; keamanan, perlindungan, dan pemanfaatan data; talent (SDM) dan literasi; serta keamanan siber.

Prasyarat ini dipenuhi dengan menggunakan enabler technology seperti drone and robots, mobil tanpa awak, custom manufacturing and 3D printing, artificial intelligence, IoT, big data analytics, cloud, dan teknologi lainnya.

“Transformasi Digital ini nantinya akan digunakan dalam 3 ruang lingkup yaitu di pemerintahan (digital government), dunia usaha (digital economy), maupun masyarakat (digital society),” papar Mira Tayyiba.

Perkembangan dan pemanfaatan digital memang sudah menjadi keniscayaan. Namun Mira juga mengingatkan mengenai digital paradox. Digital memberikan peluang kepada semua orang/negara untuk berkembang, bahkan leapfrog, tetapi juga akan memperbesar kesenjangan bila tidak memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan, serta bertransformasi.

“Digital gap terjadi bukan hanya pada masyarakat pengguna, tetapi juga pelaku usaha dan bahkan instansi pemerintah. Apabila gap ini tidak kita tutup, maka gap ini akan semakin membesar,” tegas Mira.

Untuk itu, yang bisa menjamin inklusifitas dalam Tranformasi Digital tersebut adalah infrastruktur, literasi digital dan digital talent, serta pola pikir dan budaya digital.

Mira pun kembali menegaskan pentingnya kolaborasi dan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan. “Desain Transformasi Digital ini bukan hanya milik pemerintah. Kami tidak bisa bergerak sendiri, semua pemangku kepentingan harus terlibat. Untuk itu, kami membuka diri untuk menerima masukan dan ide-ide kritis dari pelaku usaha, komunitas, akademisi, media, maupun masyarakat secara umum,” pungkasnya. (idc/iqb)

 

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Comments are closed.