Keuangan Syariah

Keuangan syariah didefinisikan sebagai kondisi dan system keuangan masyarakat yang menggunakan produk dan layanan keuangan berdasarkan prinsip syariah. prinsip ini menggunakan akad-akad atau kontrak dengan konsep bagi hasil, jual beli dan jasa serta menegasikan konsep bunga. Pemerintah Indonesia sejak tahun 90-an mengakomodir perkembangan keuangan syariah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang turut diikuti dengan kebijakan dikeluarkannya beberapa ketentuan pelaksanaan yang berbentuk SK Direksi BI/ Peraturan Bank Indonesia, dengan memberikan landasan hukum lebih kuat bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Peraturan tersebut memberikan kesempatan luas untuk mengembangkan jaringan perbankan syariah, melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Bank umum juga menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 pada tanggal 16 Juli 2008, tentang Perbankan Syariah disahkan yang memberikan landasan hukum industri perbankan syariah nasional dan diharapkan mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.

Selain produk hukum perbankan syariah, ada beberapa pengesahan hukum tentang keuangan syariah, diantaranya; (i) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (ii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa.  Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhan Keuangan Syariah secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional dan mendorong percepatan pengembangan sektor Keuangan Syariah, pemerintah secara khusus mendirikan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada tanggal 8 November 2016 agar dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi pelaksanaan rencana pembangunan nasional bidang keuangan dan ekonomi keuangan syariah. Selanjutnya sejak diundangkan tanggal 10 Februari 2020, pemerintah melakukan perubahan Komite Nasional Keuangan Syariah menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang bertujuan meningkatkan pembangunan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah guna mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Tujuan dari Sekretariat Nasional Keuangan Inklusi (SNKI) adalah mendorong pertumbuhan ekonomi, mempercepat penanggulangan kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan antar individu dan antar daerah. Kerangka penerapan SNKI untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024 terdiri dari lima pilar dan pondasi. Lima pilar SNKI yaitu edukasi keuangan, hak properti masyarakat, fasilitasi intermediasi dan saluran distribusi, layanan keuangan sektor pemerintah dan perlindungan konsumen. Kelima pilar SNKI ini harus ditopang oleh tiga fondasi yaitu kebijakan dan regulasi yang kondusif, infrastruktur teknologi informasi keuangan yang mendukung, serta organisasi dan mekanisme implementasi yang efektif.

Nomenklatur Keuangan Inklusif Keuangan Syariah dalam mendukung SNKI sangatlah relevan, keuangan inklusif membutuhkan dukungan seluruh stakeholder termasuk industri keuangan syariah walaupun secara market size, keuangan inklusif terbilang masih sedikit. Tetapi secara growth, pertumbuhan industri keuangan syariah sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan keuangan konvensional. pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai 15,63 persen, pembiayaan syariah tumbuh 20,44 persen, dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 12,93 persen. Sementara, bank konvensional pada periode tersebut, pertumbuhan asetnya sebesar 9,42 persen, pembiayaan 10,6 persen, dan DPK mencapai 8,58 persen (OJK,2022).

Kontribusi Keuangan Syariah dalam SNKI dapat dilihat dari kontribusi industri keuangan syariah baik bank syariah maupun non-bank syariah (IKNB) yang masih dibawah 2-digit yaitu 7.2% dibandingkan dengan bank konvensional sebesar 92.7%. demikian pula pada segmen mikro, kecil menengah dengan melihat serapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbasis akad syariah, dapat dilihat market share-nya sebesar 3.9% yaitu 15 trilyun dibandingkan dengan KUR konvensional sebesar 378 trilyun (Kemenko, 2022)

Pada sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) relatif menunjukkan angka yang sama, baik pasar modal syariah, pegadaian syariah, Leasing syariah, fintech syariah termasuk crowdfunding syariah. Tetapi karena pasar syariah demikian besar, maka peluang pertumbuhan (growth) dalam memperluas pasar yang secara otomatis menambah angka indeks keuangan inklusi dapat lebih di optimalkan. Oleh karena itu dengan target serta segmen prioritas SNKI pada tiga kelompok sasaran; UMKM, masyarakat lintas kelompok dan berpenghasilan rendah dapat lebih ditingkatkan.